jump to navigation

Penjara Pengetahuan Suharto June 17, 2000

Posted by lenterahati in Gede Prama, Uncategorized.
trackback

Guyonan tentang lima rahasia Tuhan, yang menyebut Gus Dur sebagai rahasia Tuhan ke lima, dan sama tidak bisa diramalkannya dengan lahir, mati, rezeki dan jodoh, sudah lama beredar di kita. Akan tetapi, dalam seminar dengan judul ‘Memahami Gus Dur‘ yg diadakan April 2000 lalu di Jakarta, tiba-tiba keyakinan tadi digugat. Arief Budiman dengan gagah beraninya mengemukakan bahwa orang yang duduk di pusat kekuasaan ini amat predictable. Terutama menyangkut hal-hal yang sifatnya strategis seperti demokrasi dan hak azasi manusia.

Tentu saja Arief Budiman tidak main-main dengan keyakinannya terakhir. Kedekatan personal ilmuwan sosial yang pernah mendeklarasikan pendekatan struktural ini dengan presiden, adalah fundamen meyakinkan yang ada di balik argumen di atas. Lain Arief, lain juga Mochtar Pabotinggi. Tokoh dari LIPI ini menyebut presiden Abdurrahman Wahid memiliki posisi etis yang berubah-ubah. Bahkan, tidak jarang perubahannya sampai 360 derajat. Ia menyebut posisi etis seperti ini dengan istilah multiplikasi etis.

Dengan tetap mengenakan spirit, bahwa sahabat sejati kita di dunia intelektual adalah kaum penghujat, sebab merekalah yang memperkaya kita terus menerus, maka izinkanlah saya menjaga jarak terhadap argumen dua tokoh ilmuwan ini.

Arief Budiman, jujur harus saya akui adalah seorang tokoh yang memberi banyak inspirasi di awal-awal pencaharian saya. Baik melalui buku maupun tulisannya. Sayangnya, melalui argumen bahwa Gus Dur amat predictable, ia tidak sedang menunjukkan sebuah pemahaman yang dalam terhadap figur yang membuat pusing banyak kalangan ini. Sebaliknya, Arief sedang menunjukkan betapa berkuasanya Suharto dalam kepala seorang Arief Budiman. Dikatakan demikian, karena cara dan ancangan Arief dalam memahami tokoh nomer satu republik ini, sebagian besar dipengaruhi oleh ‘pengetahuan-pengetahuan’ di zaman Suharto. Dengan sebutan predictable, bukankah kita sedang digiring ke daerah stabilitas yang menjadi comfortable zones-nya Suharto ?

Meminjam kerangka tokoh poststrukturalis Michell Foucault, yang menyebut bahwa power is knowledge, cengkeraman kuku Suharto di dunia politik memang sudah berakhir. Akan tetapi, daya pengaruhnya di sektor pengetahuan masih amat menentukan. Bayangkan, tokoh sekritis Arief Budiman saja kepalanya masih dihuni Suharto, bagaimana dengan orang biasa?

Dengan tetap menaruh hormat yang tinggi pada Arief Budiman, bagi saya dibandingkan dengan memotret persoalan hari ini dengan kaca mata hari kemaren, lebih baik kita menghapus dulu sisa-sisa kotoran hari kemaren di kaca mata kita, baru kemudian potret memotret dilakukan. Dan inilah yang gagal dilakukan oleh seorang Arife Budiman.

Lain Arief lain juga Mochtar Pabotinggi. Tokoh LIPI ini menyebut mantan ketua umum PBNU ini sebagai tokoh yang terlalu sering berganti-ganti posisi etis. Demikian seringnya pergantian posisi dilakukan, sehingga ia menjadi tokoh yang amat sulit untuk diramalkan. Di sisi unpredictability, saya sependapat dengan Mochtar Pabotinggi. Sayangnya. Mochtar melakukan ulasan melalui jalur the predictability of unpredictability. Atau melihat unpredictability dalam prespektif predictability. Sehingga, tentu saja hasilnya sebuah wajah yang penuh paradoks.

Bila ini yang digunakan untuk menilai argumen Mochtar Pabotinggi, sekali lagi tampak betapa dalamnya cengkeraman kuku Suharto di wilayah pengetahuan kita. Dan sekali lagi saya bertanya, kalau orang sekaliber Mochtar Pabotinggi saja demikian dikuasai fikirannya oleh Suharto, bagaimana dengan kita?

Anda mungkin lebih optimis dalam memandang masa depan Indonesia, namun belajar dari ulasan ringkas di atas saya merasa awan kabut Indonesia masih akan terus berlangsung. Lihat saja apa yang terjadi di tanah air akhir-akhir ini. Dari dicopotnya Laksamana Sukardi, tidak terbitnya Jawa Post karena kantornya diduduki pasukan Banser, ada staf ahli BPPN dengan tugas memelintir tangan debitur nakal, nasib restrukturisasi perbankan yang tidak jelas, serta banyaknya isu dan tuduhan yang beredar di mana-mana. Dan yang lebih hebat lagi, ia datang dari puncak tertinggi dari piramida kekuasaan negeri ini.

Semua ini menunjukkan, tidak hanya kepalanya Arief Budiman dan Mochtar Pabotinggi saja yang sedang ‘dijajah‘ Suharto. Perilaku-perilaku keputusan tingkat tinggi negeri inipun tidak banyak berubah dibandingkan zamannya Suharto. Orangnya memang banyak yang diganti. Tetapi, demikian berkuasanya logika power is knowledge, sampai-sampai ia meninggalkan jejak demikian lama dan panjang.

Entah bisa entah tidak kita keluar dari ‘penjara pengetahuan‘ ala Suharto. Yang jelas, pemuka-pemuka pengetahuan seperti Arief Budiman dan Mochtar Pabotinggi telah memamerkan ketidakberdayaanya. Apa lagi politisinya yang menunjukkan kecenderungan kuat untuk meniru.

Ini semua memang bukan dosa Suharto seorang diri. Ini dosa kita semua yang telah mengikhlaskan otak kita untuk tidak dipakai dan mengangguk saja pada logika power is knowledge.